BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja ketiga Kerajaan Mataram Islam. Disebut Mataram Islam untuk membedakan dengan Mataram Hindu di Jawa Tengah dulu. la adalah cucu dari Panembahan Senapati (Sutawijaya) dan putra Panembahan Seda ing Krapyak. Penembahan Senapati yang dilahirkan pada tahun 1591 merupakan pendiri Dinasti Mataram islam. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya ditaklukkannya supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Kerajaan Mataram. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar “Panembahan Hanyakrakusuma” atau “Prabu Pandita Hanyakrakusuma”. Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi “Susuhunan Agung Hanyakrakusuma”, atau disingkat “Sunan Agung Hanyakrakusuma”. Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar “Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman”. Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram”, yang diperolehnya dari pemimpin Ka’bah di Makkah.
Monopoli perdagangan dan lahirnya VOC sebagai dalih persekutuan dagang bangsa Belanda di Nusantara telah membawa dampak yang sangat beragam dari sekian banyak kerajaan yang bertahta di wilayah Nusantara. Konflik kepentingan antara kerajaan nusantara dengan para pendatang eropa, sedikit banyaknya telah mempengaruhi pula pada peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi masa mendatang.
Serangan pasukan Mataram, ke Batavia, 1628 dan 1629 telah menandai perjalanan panjang konflik kerajaan di Nusantara dengan Belanda dalam hal ini VOC. Berawal dari hubungan Mataram – Batavia 1613. kontak perdana terjadi ketika 22 september 1613, sebuah kapal Belanda yang berisi utusan Kompeni di bawah pimpinan Jan Piterszoon Coen merapat di pelabuhan Jepara, dan kemudian Kudus dua pelabuhan milik Mataram. Maksud dari kedatangan utusan kompeni ini adalah untuk menjalin kerjasama antara Mataram yang terkenal sebagai penghasil beras dan hasil bumi lainnya dengan pihak Belanda, dalam hal ini VOC [1] . Soal menyoal konflik yang terjadi antara Mataran dan kompeni akan kita bahas pada bab tersendiri.
Memahami sejarah dalam ragam perspektif memang sangat sulit. Tak terkecuali peristiwa sejarah kontemporer sekarang ini, dengan beragam sumber dan sudut pandang yang berbeda. Namun dalam peristiwa sejarah apapun, kita harus bisa menempatkan objektivitas di tingkat paling atas untuk menghindari kesalahan penulisan dan penafsiran sejarah sebagai sebuah peristiwa yang penting. Sejarah Konflik Mataram dan VOC, menjadi sebuah langkah awal analisis kita dalam mengkaji lebih dalam urutan peristiwa sejarah dan dampak yang tertimbulkan dari peristiwa sejarah itu sendiri. Peristiwa ini sedikit banyaknya bisa dijadikan sebuah acuan dalam menentukan kedudukan kita sebagai masyarakat di nusantara yang tidak bias lepas dari peristiwa sejarah di masa lampau.
- RUMUSAN MASALAH
Adapun latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut
a. Bagaimana Jalanya Pemerintahan Sultan Agung di Mataram ?
b. Bagaimana Jalanya perang Melawan VOC di Batavia ?
c. Bagaimana dampak dan akir dari perang antara mataram dengan VOC di Batavia ?
- TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah dengan judul perlawanan Sultan Agung Hanyokrokusumo terhadap VOC di Batavia diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui Jalanya Pemerintahan Sultan Agung di Mataram.
b. Mengetahui Jalanya perang Melawan VOC di Batavia.
c. Memahami dampak dari perang antara mataram dengan VOC di Batavia
BAB II
PEMBAHASAN
- MATARAM DIBAWAH SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya (beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618. Sultan Agung (memerintah 1613-1646), raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya, Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613. Dalam kenyataannya dia tidak memakai gelar sultan sampai tahun 1641; mula-mula dia bergelar pangeran atau panembahan dan sesudah tahun 1624 dia bergelar susuhunan (yang sering disingkat sunan, gelar yang juga diberikan kepada kesembilan wali). Namun demikian, disebut Sultan Agung sepanjang masa pemerintahannya dalam kronik-kronik Jawa, dan gelar ini biasanya dapat diterima oleh para sejarawan.
Pesaing besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap. Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan. Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan negara yang dalam hal ini terutama meliputi Pulau Jawa. di samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617) Tuban (1919), Madura (1624), dan Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara dapat dicegah intervensi kekuasaan asing. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak dilakukan pohtik doniestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram.
Di kraton, Prasena mendapat perlakuan baik dan dikawinkan dengan putri kraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat (I). Lewat; strategi itu terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan kerajaan yang ditaklukkan itu tidak merasa menjadi “wilayah bawahan” Mataram, tetapi merasa menjadi mitra yang dipertatungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat usaha itu sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan. Untuk menghancurkan kedua musuhnya di Jawa Barat, Sultan Agung pernah menawarkan kerjasama dengan VOC untuk menghancurkan Banten. Setelah Banten hancur, barulah VOC mendapatkan gilirannya. Tawaran kerjasama itu ditolak oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jendral VOC pada masa itu. Gubernur Jenderal itu rupanya mengetahui bila sesudah Kerajaan Banten dapat dihancurkan maka kongsi dagang itu akan menjadi sasaran berikutnya. VOC tetap memelihara pertentangan antara dua kerajaan itu dan memainkan pengaruhnya di setiap pergantian raja. Raja yang pro VOC akan didukungnya dengan membayar imbalan berupa penyerahan sebagian tanah kerajaan kepadanya.
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan. Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng. Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati. Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya. Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
- PERLAWANAN MENGHADAPI VOC DI BATAVIA
- Latar Belakang
Mataram dan politik perluasan wilayahnya telah menjadi embrio yang kelak akan membawanya ke dalam sebuah peperangan yang justru menjatuhkan hegemoninya di hadapan para daerah taklukannya karena tidak bisa menaklukkan Batavia dibawah kekuasaan VOC, tapi sebelum kita sampai lebih jauh lagi tentang perang Mataram dengan VOC, mari kita kupas sedikit tentang hubungan awal Mataram dengan VOC sebelum konflik.
Seperti yang sudah tertera pada informasi di atas, bahwa hampir seluruh wilayah Pulau jawa telah menjadi wilayah kekuasaan Mataram, kecuali Banten, serta Batavia, yang dikuasai oleh Banten dan VOC. juga daerah Blambangan. Pada tahun 1613, tepatnya 22 September 1613 serombongan Utusan VOC, yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen merapat di daerah Mataram yang telah menjadi pelabuhan penting Mataram yaitu, Jepara dan Kudus, utusan tersebut ingin menjalin kerjasama dengan Mataram dalam hal penyediaan beras karena Mataram terkenal sebagai penghasil beras. Dalam hal ini Sultan Agung menerima keinginan dan penawaran kerjasama dari pihak VOC, berdasarkan pertimbangan bahwa persahabatan itu nantinya akan berguna dalam rangka keinginan Mataram menguasai kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai jawa timur, terutama Surabaya yang terkenal kuat dalam hal pasukan. Maka didirikan lah Pos perdagangan VOC di Japara tahun 1615. Dalam perkembangan selanjutnya disamping konflik kepentingan dari kedua belah pihak, Sultan Agung dipengaruhi oleh saudagar inggris, Sultan Agung mulai menyadari bahwa kehadiran VOC di wilayah Mataram sangat berbahaya, seperti hal yang dialami oleh Jayakarta yang sepenuhnya telah berada di bawah kekuasaan VOC, hal ini tentu bertentangan dengan cita-cita Mataram dalam hal ini Sultan Agung sendiri untuk meluaskan pengaruhnya di seluruh tanah jawa [2] .benih-benih menuju konflik berkepanjangan mulai terlihat jelas pada saat tentara Mataram menyerbu kantor dagang VOC di Jepara 1618, serangan ini dipimpin oleh Orang Gujerat yang meminpin Jepara atas nama Sultan Agung. 3 orang Belanda tewas dan yang lainnya di tawan, pihak VOC tidak tinggal diam, bulan November tahun itu juga VOC melakukan pembalasan dengan membakar semua kapal Jawa yang sedang berlabuh di pelabuhanserta sebahagian besar kota. Tetapi perlu diingat juga bahwa pada tahun 1618 ketika terjadi paceklik tanaman padi, Sultan Agung pernah melarang ekspor beras kepada pihak belanda dalam hal ini VOC hal ini tentu beralasan, konon pihak VOC telah menyamakan Sultan Agung dengan seekor Anjing, dan juga pihak VOC yang dianggap telah mengotori mesjid Jepara [3] , beberapa fakta sejarah inilah yang akan mengantar Mataram ke dalam peperangan yang berkepanjangan dengan VOC, hubungan yang semakin memburuk ditunjukkan dengan tindakan VOC yang membakar jung-jung Mataram di Jepara dan merebut beras yang ada di dalamnya. Tujuan lain dari penyerangan ini disamping untuk membalas dendam atas serangan Mataram terhadap pos dagang VOC di jepara 1618, juga untuk merusak kantor dagang Inggris dan untuk membuat orang-orang cina pindah ke Batavia [4] . Namun pada 1621 personel VOC yang ditawan dikembalikan ke Batavia dan beras pun dikirim, VOC pun mengirimkan utusan nya kepada Sultan Agung 1622, 1623 dan 1624, hubungan ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Mataram yang mengharapakan bantuan angkatan laut dari VOC untuk melakukan penaklukan atas Surabaya, Banten dan Banjarmasin, namun niat Mataram ini ditolak mentah-mentah oleh VOC, maka habis lah sudah persahabatan dan keinginan kerjasama yang mutualistis, apalagi setelah Suarabaya berhasil dikuasai 1625, Sultan Agung telah merencanakan serangan ke Batavia. [5]
- Persiapan dan Jalannya Perang ( serangan pertama ).
Konflik kepentingan antara ketiga belah pihak yaitu Mataram yang ingin memeperluas pengaruh dan daerah taklukkan ke seluruh daerah pulau jawa, dengan VOC yang ingin menambah pundi-pundi keuntungan dari perdagangan mereka di pulau jawa, serta Benten yang ingin menunjukkan eksistensi kerajaan dan kemajuan perniagaannya, akan menjadi benang merah, perang yang akan terjadi di Batavia. Mataram yang cenderung agresif dan bernafsu untuk melengkapi hegemoninya di pulau jawa, jelas menjadi dilema ketika berhadapan dengan Banten, dan VOC di Batavia. Sejak tahun 1620 telah disebut-sebut adanya maksud susuhunan Mataram untuk menyerang Batavia, Susuhunan Mataram pernah diberitakan mengumpulkan 100.000 prajurit, untuk menyerang Batavia, namun pasukan ini batal menjalankan misinya karena ada kepentingan kerajaan yang lebih mendesak, 1626 Sultan kembali diberitakan mengumpulkan pasukan sebanyak 900.000 yang akan dipersiapkjan untuk menyerang orang kafir (VOC) di Batavia, namun misi ini juga gagal karena pasukan mataram harus memadamkan pemberontakan Pati (1627), namun jumlah pasukan ini perlu dikaji lebih jauh lagi karena masih adanya perbedaan interpretasi dari beragam sudut pandang.pertanyaan dari mana pasukan atau prajurit yang akan berperang melawan VOC di Batavia, akan kita bahas pada sub bab ini, menurut salah satu sumber buku yang penulis gunakan, bahwa raja Mataram mengumpulkan kepala daerah bawahan Maataram terutama yang berada di pesisir yang akan disertakan dalam penyerangan, dikatakan pula bahwa Sultan agung pernah mengajak banten untuk sama sama menyerang VOC di Batavia, namun jelas Banten tidak setuju karena khawatir jika Batavia telah dikuasai sasaran Mataram selanjutnya adalah Banten itu sendiri [6] . Pada tahun 1628 Mataram melakukan serangan pertamanya ke Batavia, April 1628 Kyai Rangga dikirim ke Batavia dengan 14 perahu yang memuat beras,Rangga ini datang untuk meminta bantuan VOC untuk Mataram yang ingin menyerang Banten, tapi hal ini ditolak pihak VOC, 22 agustus 1628, 50 kapal mendarat di Batavia, dengan perlengkapan yang sangat komplit. 2 hari kemudian muncul 7 perahu meminta izin perjalanan ke Malaka, VOC telah menangkap sinyal serangan yang akan terjadi maka VOC berusaha tidak mempertemukan kapal yang baru datang dengan yang terakhir datang, karena dikawatirkan terjadi pertukaran senjata antar kapal,namun usaha itu gagal, pagi hari 20 buah kapal Mataram menyerang pasar dan benteng Batavia, banyak korban yang jatuh. Siasat VOC ialah mengorbankan daerah di sekitar benteng dan membakar kampung di sekitarnya serta meratakannya dengan tanah, pada waktu tentara Mataram mendekati benteng, sangat mudah bagi VOC untuk mengusirnya karena tidak ada tempat persembunyian bagi pasukan Mataram, melihat keadaan ini terpaksa pasukan Mataram menarik diri dari arena peperangan, dan mengungsi ke daerah yang agak berpohon dan membangun benteng dari bambu anyaman, tentara mataram membangun parit-parit di sekitar wilayah peperangan, tetapi VOC mengirim tentara ker parit tersebut dan mengusir tentara Mataram yang ada di parit tersebut [7] . Diceritakan pula di sumber lain bahwa pada 26 agustus 1628, datanglah pasukan Mataram ke Batavia dalam jumlah yang besar, sekitar 10.000 pasukan, dengan cara berbaris mereka mendekati benteng VOC, pasukan ini dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa( baureksa),pemimpin VOC memerintahkan agar hutan di sebelah selatan ditebang dan perkampungan sekitarnya dibakar agar gerak-gerik pasukan Mataram dapat terlacak dengan mudah.Pasukan mataram tidak tinggal diam mereka serta- merta membangun benteng pertahanan di daerah perang, kubu pertahanan itu seperti disebutkan di sumber ini terbuan dari tumpukan pohon kela pa dan tumpukan pohon pisang serta dipagari oleh bambu yang sudah dibelah dua,malam hari tanggal 10-11 september 1628 pasukan mataram menggali garis pertahanan dan membuat parit perlindungan, pembangunan kubu pertahanan ini memakan waktu hingga setengah bulan [8] . di sumber lain disebutkan juga bahwa Bureksa menulis surat ancama kepada Coen 21septemeber 1628, yang isinya dalam waktu 10 atau 12 hari akan datang pasukan yang lebih besar dibawah pimpinan Dipati Madurareja, Dipati Upasanta, Dipati Tohpati, dan Tumenggung Anggabaya kemudian akan datang pula pasukan yang sama besarnya di bawah pimpinan pangeran Adipati Juminah, tapi dalam keadaan berikutnya diterangkan bahwa tentara Baurekasa dipukul mundur dan tercerai berai bahkan peminpinnya pun gugur dalam pertempuran itu, VOC mengira mereka telah bebas dari musuh tetapi setelah pasukan Baureksa hancur, muncullah tentara kedua yang lebih besar panglima tertingginya adalah Tumenggung Sura Agulagul. Ia berusaha membelokkan arah aliran sungai dan memaksa orang yang terkepung untuk menyerah pada Mataram. Tapi semua usaha ini sia-sia, pasukannya sendiri banyak yang mati karena penyakit dan kelaparan. 3 desember dia membubarkan pengepungannya dan membunuh panglima-panglima bawahannya yaitu Dipati Madurareja dan Dipati Upasanta bersama dengan orang-orangnya [9] . Kita kembali pada pernyatan awal,21 oktober 1628 hampir seluruh pasukan VOC di Batavia dikerahkan untuk
Melakukan serangan pada Mataram, kekuatan pasukan VOC itu sekitar 2.866 serdadu. Komandannya Letkol Jacques le Febvre. Pasukan kompeni dibagi menjadi beberapa kelompok pasukan yang bertugas menyerang pasukan Ukur dan Sumedang antara ialah:
1. Pasukan berkluda berjumlah 4 orang menyerang dari arah barat laut
2. Pasukan Avantrgarde, terdiri atas 3 regu yang dipimpin oleh, Kapten Dietloff Specht, ghysbert van Lodensteynx dan kapten Andrian Anthonisz, komandan gernisun benteng Batavia.
3. Batalion di bawah Mayor Vogel
4. Pasukan Arrieregarde
5. Pasukan orang-orang merdeka dan orang Jepang.
Pasukan Ukur dan Sumedang lah yang pertama kali mendapat serangan setelah itu maka dilanjutkan menyerang pasukan Baureksa seperti yang telah dijelaskan di atas, pasukan Ukur dan sumedang mendapat serangn dari berbagai arah, mendapat serangn yang begitu dahsyat dan teratur pasukan Ukur dan Sumedang terpuruk mereka mundur demi mencari keselamatan Tumenggung Baureksa pun tidak bisa berbuat banyak demi membantu pasukan Ukur dan Sumedang karena posisinya pun sedang dalam keadaan terjepit akibat serangan pihak VOC,akhirnya kubu pertahanan baureksa dapat direbut oleh VOC dan para pemimpinnya tewas termasuk Baureksa dan anaknya11, seperti yang telah disebutkan pada informasi di atas.kegagalan demi kegagalan yang terjadi di pihak Mataram tidak lebih karena kurangnya persiapan dan juga terbatasnya bahan makanan juga serangan penyakit pada pasukan Mataram. Berhubung karena kegagalan ini maka atas dasar hukum yang berlaku di Mataram sejumlah pimpinan seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu pangeran Madurareja dan Upasanta dihukum mati, dengan demikian serangan pertama mengalami kegagalan.
- Jalanaya Perang Kedua (1629)
Setelah mengalami kekalahan pada serangan yang pertama(1628),dari VOC di Batavia, Mataram kembali berencana melakukan serangan yang kedua, maka persiapan pun dilakukan, bahkan dikatakan pasukan Mataram telah menyiapkan perbekalan logistik para prajurit di tempat-tempat tertentu dalam perjalanan ke Batavia. Pasukan Mataram berangkat dalam 2 gelombang, pertama berangkat akhir mei 1629 dan yang kedua 20 juni 1629, Agustus pasukan Mataram telah tiba di Batavia. Pada tanggal 20 juni 1629 tersebut ada kejadian penting yang akan merubah jalannya cerita kemenangan pasukan Mataram dalam menghadapi VOC, yaitu, seorang Mataram bernama Warga, beserta beberapa orang pengikutnya, sebenarnya tugas mereka adalah sebagai mata-mata Mataram itu sendiri, namun dalam kenyataannya, pihak VOC mencurigai aksi para utusan Mataram ini, dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Warga bertugas untuk meminta maaf kepada kompeni mengenai hal yang telah terjadi. Sementara orang-orang mataram mengumpulkan padi di Tegal, padi tersebut akan ditumbuk di Tegal dan diperdagangkan di Batavia, inilah cara Mataram membawa beras ke Batavia, namun salah seorang anak buah Warga ini membocorkan rahasia dan siasat ini, maka pada waktu Warga datang ke Batavia yang kedua kalinya, ia ditanggap dan diinterogasi dan ditanyai perihal kebenaran beriat bahwa mataram akan melakukan serangan yang kedua kali, rahasia ini dibenarkan oleh warga sehingga VOC membakar semua persediaan beras pasukan mataram yang ada di Tegal dan Cirebon [10] , maka otomatis persiapan yang telah matang sebelumnya akan berdampak besar pada kemenangan pihak mataram, karena hal ini berurusan dengan logistic pasukan Mataram.8 september 1629 pasukan mataram mengagali parit pertahanan yang dilindungi kayu dan bamboo, parit ini digali dari markas pertahanan pasukn mataram menuju benteng VOC ”HOLANDIA”, namun seperti biasa VOC selalu bisa menggagalkan proyek pertahanan Mataram tersebut, kelompok lain yang juga berusaha merongrong pertahanan VOC, menyerang benteng “BOMMEL” beberapa prajurit berusaha masuk ke benteng untuk membuka pintu benteng, namun sebelum hal itu terjadi pasukan VOC telah menembaki prajurit mataram tersebut, pasukan Mataram berencana menyerang tembok benteng VOC dengan serangan meriam Mataram, namun pasukan VOC dibawah pimpinan Antonio van Diemen bias mengatasi serangan itu dan melakuakn serangan balik pada pasukan Mataram, dalam beberapa sumber juga disebutkan bahwa pada tanggal 20 September 1629 gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena serangan penyakit [11] . Pada tanggal 20 september 1629 terjadi serangan besar-besaran pasukan Mataram dan serangn puncak, serangan ini tertuju pada benteng Weesp, banyak pasukan Matram tertawan oleh pasukan VOC, maka pada suatu saat tawanan pasukan VOC sudah terlalu banyak yang tentunya menambah dana logistic VOC, maka diputuskan untuk menghentikan penawanan, kegagala pada serangan puncak ini akan berakibat pada hilangnya semangat juang para prajurit Mataram ini, tapi sebenarnya akibat kekalahan tentara Mataram terletak pada kurangnya bahan makanan atau logistic pasukan Mataram, pada umumnya tentara Mataram mengalami kelaparan, bahkan disebutkan banyak yang meninggalkan arena peperangan karena kelaparan [12] .
C. DAMPAK DARI PERANG MELAWAN VOC
a. Munculnya pemberontakan yang diakibatkan dari kekalahan atas VOC
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah. Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok ulama di Tembayat yang berhasil ditumpas pada sekitar tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632. Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditundukkan oleh Kasultanan Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu. Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Bahkan pelabuhan dan juga perdagangan seperti di Surabaya dan Tuban dimatikan dan ditutup , sehingga kehidupan rakyat pada masa itu hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending. Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana. Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-rajaKesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
- SARAN
Walaupun usahanya menyatukan nusantara dan melakukan penggusiran terhadap VOC gagal namun semangatnya dalam nasionalisme cinta tanah air dan juga semangat juangnya Menghadapi kekuatan asing patut dijadikan contoh pemimpin yang mampu membawa sebuah negara Khususnya Indonesia keluar dari Belenggu asing dan Monopoli asing seingga sikap maupun tindakan tindakan kepahlawananya patut dijadikan contoh calon pemimpin masa depan Indonesia yang mempunyai integritas dan rasa cinta Tanah air yang tinggi. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. PresidenNo. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. Sehingga hal ini menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinanya atas mataram sarat penuh makna dan juga kebanggakan bangsa atas lahirnya putra nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku :
Djadjadiningrat, Hosein.1983.TINJAUAN KRITIS SEJARAH BANTEN .Jakarta: Djambatan
Kartodirjo, Sartono.Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto.1975.SEJARAH
NASIONAL INDONESIA III. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional
Ricklef, M.C.1989. SEJARAH INDONESIA MODERN. Terjemahan Drs.Dharmono Hardjowidjono. Jogjakarta: Gajah Mada University press
SEJARAH PERLAWANAN terhadap IMPERIALISME dan KOLONIALISME di daerah JAWA BARAT, Departemen Pendididikan dan Kebudayaan .Direktorat sejarah dan Nilai tradisional. Jakarta 1990
Sumber Internet :
http://buihkata.blogspot.com/2012/11/perlawanan-rakyat-mataram-terhadap.html
http://bayuprakoso21.blogspot.com/2010/12/makalah-kerajaan-mataram-islam.html
http://arrieffatriansyah.blogspot.com/2013/03/makalah-banten-dan-mataram-menghadapi.html
[1] SEJARAH PERLAWANAN terhadap IMPERIALISME dan KOLONIALISME di DAERAH JAWA BARAT hal, 22-23
[2] SEJARAH PERLAWANAN terhadap IMPERIALISME dan KOLONIALISME di daerah JAWA BARAT hal.22-24
[3] M.C Ricklefs , Sejarah Indonesia Modern hal 68-69
[4] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia jilid III hal 362-363
[5] M.C Ricklefs Sejarah Indonesia Modern hal 69
[6] SEJARAH PERLAWANAN terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di jawa Barat hal,26-27
[7] Sejarah Nasional Indonesia jilid III hal 363-365
[8] Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di jawa Barat, hal 29-30
[9] Tinjauan kritis tentang Sejarah Banten, Hosein djadjadiningrat, hal 185-187
[10] .Sejarah Nasional Indonesi jilid III hal 366-367
[11] .Sejarah Nasional Indonesi jilid III hal 366-367
[12] sejarah perlawanan terhadap Imperialisme dan kolonialisme di Jawa Barat hal, 36-37
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara pada awalnya memiliki tujuan untuk
mencari rempah-rempah dan berdagang. Hal tersebut yang dilakukan oleh Portugis, sebagai bangsa Eropa pertama yang datang ke wilayah Nusantara dengan motif ekonomi, petualangan, dan agama [1] . Kedatangan bangsa Eropa ke Nusanta juga dilatarbelakangi oleh jatuhnya kota Konstantinopel sebagai pusat perdagangan rempah-rempah ke tangan Turki Usmani pada tahun 1453. Seiring dengan hal tersebut, pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti perkapalan, navigasi, dan kompas di Eropa turut memicu adanya penjelajahan samudra sampai ke wilayah Nusantara.
Begitu juga halnya dengan Belanda. Pada abad ke 15, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda hanya sebatas pada perdagangan garam, anggur, dan tekstil serta mendistribusikan rempah-rempah dari Asia ke pelabuhan Lisabon [2] , pelabuhan baru setelah jatuhnya konstantinopel. Namun, pecahnya perang antara Belanda dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan perang 80 tahun [3] menyebabkan pelabuhan Lisabon jatuh ke tangan Spanyol pada tahun 1580 sehingga perdagangan dan distribusi barang yang dilakukan oleh Belanda menjadi terhambat bahkan akhirnya terhenti.
Dengan jatuhnya Lisabon ke tangan Spanyol, maka Belanda berinisiatif untuk medatangi langsung sumber rempah-rempah. Untuk mewujudkan hal tersebut, Belanda mengumpulkan para ahli ilmu bumi, antara lain Plancius dan Mercantor [4] . Pada saat yang sama, terbit buku karya Jan Huygen van Linscoten berjudul Itineratio yang berisi tentang Hindia (Indonesia) berikut kekuasaan Portugis di Hindia (Indonesia) tersebut. Buku ini yang kemudian menginspirasi Cornelius de Houtman dan Pieter de Keyser untuk melakukan pelayaran ke Nusantara. Pada tanggal 2 April 1595, berangkatlah 4 buah kapal dari pangkalan Tessel di Belanda Utara dan sampai di Banten pada tanggal 23 Juni 1596 [5] .
Saat Belanda tiba di Banten, saat itu kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir [6] . Belanda kemudian menjadi tertarik dengan Banten karena Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara pada abad ke 16. Dengan adanya lada, para pedagang baik dari Cina, Arab, maupun bangsa Eropa tertarik untuk berdagang di Banten [7] . Saat Belanda pertama kali mendarat di Banten dengan 3 kapal dan 89 awak kapal dibawah pimpinan Cornelis de Houtman [8] , mereka terkagum-kagum dengan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat ini. Cornelis de Houtman memperkirakan Banten memiliki luas yang mungkin sama dengan Amsterdam [9] . Dengan potensi yang ada pada Banten, maka VOC yang kemudian mewadahi kongsi dagang Belanda hendak menguasai Banten dan memonopoli perdagangan secara keseluruhan. Hal tersebut sangat ditentang oleh sultan yang berkuasa saat itu, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.
Alasan saya mengapa memilih tema mengenai kesultanan Banten ini selain karena anjuran dari Dr. Ita Syatamsiyah Ahyat S.S, M. Hum adalah karena saya tertarik pada kesultanan Banten dimana Banten sebagai pelabuhan besar dan penghasil lada merupakan awal dari berkuasanya Belanda, khususnya VOC di Nusantara. Selain itu, untuk memperoleh sumber juga tidak terlalu sulit dalam menyelesaikan makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah perlawanan kesultanan Banten terhadap VOC tahun 1651 sampai dengan 1682. Berdasarkan rincian permasalahan tersebut, maka kami mengajukan dua pertanyaan mendasar, yaitu :
- Faktor apa yang melatarbelakangi perlawanan kesultanan Banten terhadap VOC tersebut ?
- Bagaimana kronologis perlawanan kesultanan Banten dari awal sampai akhir terhadap VOC ?
1.3 Tujuan
Secara umum, tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui perlawanan yang dilakukan oleh kesultanan Banten terhadap VOC pada tahun 1651 sampai dengan 1682. Secara khusus, tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini antara lain:
- Menjelaskan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi perlawanan Banten terhadap VOC pada tahun 1651 sampai dengan 1682.
- Menjabarkan kronologis perlawanan dari awal sampai akhir antara kesultanan Banten dengan VOC ini.
1.4 Ruang Lingkup Masalah
Periodesasi yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah tahun 1651 sampai dengan 1682 di Banten. Antara tahun 1651 sampai dengan 1682 merupakan saat dimana Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Banten dan membawa Banten pada kemajuan yang pesat. Pada rentang tahun tersebut, Banten seringkali menetang VOC. Sebelum tahun 1651 atau sebelum Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Banten, VOC dapat menanamkan kekuasaannya dengan selalu turut campur dalam urusan kesultanan Banten baik dibidang politik maupun ekonomi [10] .
Pada tahun 1682, VOC berhasil mengalahkan Banten setelah berulangkali mendapatkan pelawanan. Bagi VOC, Banten merupakan musuh yang sulit ditaklukkan melebihi Mataram [11] . Tahun tersebut merupakan akhir dari pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dan awal bagi VOC dalam menanamkan kekuasaannya dan memonopoli perdagangan di Banten.
1.5 Metode Penulisan
Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah metode kepustakaan, tentunya dengan ditambah metode dalam penulisan sejarah, yaitu:
1.5.1. Heuristik
Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber yang dapat mendukung penulisan ini, terutama sumber-sumber sekunder. Sumber sekunder ini dapat kami peroleh melalui tulisan-tulisan di buku yang ditulis sezaman.Sumber-sumber yang kami dapatkan dari Perpustakaan Pusat UI. Berikut rincian dalam pencarian sumber-sumber :
- Tanggal 28 Maret 2012, saya mendapatkan beberapa buku di Perpustakaan Pusat UI, antara lain Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra, Catatan Masa Lalu Bantem,Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten,Jan Kompeni, Dalam Perang dan Damai 1602-1799,VOC di Kepulauan Indonesia: Berdagang dan Menjajah.
- Tanggal 3 April 2012, saya mendapatkan sumber tambahan berupa buku berjudul Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.
- Tanggal 7April 2012, saya melakukan kunjungan ke Perpustakaan Nasional untuk mencari dokumen mengenai Kesultanan Banten. Namun, kami tidak menemukan dokumen yang saya maksud.
1.5.2. Kritik
Kritik menjadi sangat penting dalam menyaring informasi yang kami dapatkan dari berbagai sumber sekunder yang saya gunakan. Hal ini dilakukan agar data-data yang diperoleh memiliki nilai kredibilitas yang tinggi sehingga dalam penulisan, saya dapat mempertahankan nilai akademisnya dan menghasilkan karya tulis yang bersifat ilmiah. Pada tahap ini, saya melakukan pengujian atas sumber-sumber yang ditemukan. Dengan menguji dan membandingkan semua sumber yang diperoleh, diharapkan dapat memberikan informasi yg lebih akurat.
1.5.3 Interpretasi
Setelah menyaring berbagai informasi dari sumber-sumber yang ada dan menghasilkan data-data yang objektif yang diperlukan untuk mendukung penulisan, saya melakukan interpretasi terhadap data-data tersebut. Dengan demikian akan didapatkan fakta yang memiliki tingkat kebenaran tinggi. Dengan adanya fakta-fakta tersebut, saya dapat menggunakannya sebagai bahan untuk merekonstruksi dalam bentuk tulisan. Di sinilah saya akan menginterpretasikan bagaimana pelawanan kesultanan Banten terhadap VOC.
1.5.4 Historiografi
Historiografi merupakan tahap terakhir dari proses metode penulisan makalah ini. Dalam tahap ini, saya menuliskan semua fakta yang ada menjadi sebuah rangkaian cerita yang menarik.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan dalam makalah ini akan terdiri dari 4 bab, yaitu:
BAB I:PENDAHULUAN
Bab ini berisi gambaran umum masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: PERLAWANAN BANTEN TERHADAP VOC TAHUN 1651-1682
Dalam Bab II ini akan dibahas mengenai asal-usul VOC, bagaimana posisi dan kedudukan Banten saat itu, serta hal-hal yang melatarbelakangi perlawanan Banten terhadap VOC.
BAB III: KRONOLOGIS PERLAWANAN BANTEN TERHADAP VOC
Bab ini merupakan inti dari penulisan makalah. Dalam bab ini akan dibahas bagaimana kronologis perlawanan kesultanan Banten terhadap VOC, dari awal sampai akhir.
BAB IV: KESIMPULAN
Bab ini menutup rangkaian penelitian saya dengan memberikan kesimpulan dari penulisan makalah.
BAB II
ISI
2.1 Asal Usul VOC (Verenigde Oost Indishe Compagnie)
VOC merupakan singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie. Awalnya VOC adalah gabungan umum dari Generale Verenigde Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie (Persatuan Umum Persekutuan Dagang Hindia Belanda) [12] . VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 di Amsterdam, setelah diadakannya perundingan yang lama dan sulit antara Staten Generaal (Dewan Perwakilan). Dalam perundingan tersebut turut dihadiri oleh pengacara Belanda yang terkenal, yaitu Johan van Oldenbarneveldt, para pengurus perusahaan dagang Holland dan Zeeland, yang telah dibentuk antara tahun 1596 – 1602 untuk berdagang di Hindia Timur [13] . Sebelum VOC berdiri dengan rentang tahun antara 1598 – 1602, Belanda telah memiliki 65 kapal dari jumlah sebelumnya yaitu 22 kapal yang mengangkut hasil bumi dari Nusantara terutama rempah-rempah, baik milik perseorangan maupun milik perserikatan dagang [14] .
Dengan banyaknya perserikatan dagang, terjadilah persaingan diantara para pedagang Belanda yang mengakibatkan harga rempah-rempah di pasaran Eropa menjadi jatuh. Oleh sebab itu, didirikan VOC dengan tujuan untuk mewadahi para pedagang, menghindarkan para pedagang dari persaingan yang tidak sehat, dan melindungi para pedagang dari intervensi pedagang lain seperti pedagang Portugis, Arab, Cina, dan Inggris. VOC memiliki hak istimewa yang disebut dengan hak oktroi. Hak tersebut mengindikasikan bahwa VOC memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sama seperti halnya sebuah negara [15] . Hak istimewa tersebut antara lain:
- Hak mengadakan perjanjian dengan negara lain tanpa melalui persetujuan Raja/Ratu Belanda.
- Hak membuat dan mengedarkan uang sendiri.
- Hak menyusun dan memiliki angkatan laut serta angkatan darat sendiri yang dapat bertindak tanpa harus tunduk kepada kerajaan Belanda.
- Hak menyatakan perang dengan negara atau kerajaan lain tanpa harus meminta persetujuan dengan Raja/Ratu Belanda.
Kepentingan-kepentingan yang menaungi VOC diwakili oleh sistem majelis untuk masing-masing dari enam wilayah yang memiliki direktur berjumlah 17 orang yang disebut dengan Heeren XVII [16] . Mereka berasal dari Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan Middleburg (Zeeland). Penetapan anggota Heeren XVII didasari atas ketentuan, yaitu 8 orang dari Amsterdam, 4 orang dari Middleburg (Zeeland), dan sisanya berasal dari Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, dan Delft dengan jumlah masing-masing satu orang [17] . Untuk anggota yang ketujuh belas ditentukan oleh Zeeland. Heeren XVIImengadakan pertemuan dua kali dalam satu tahun, yaitu pada musim semi dan musim gugur.
2.2 Kondisi, Posisi, dan Kedudukan Banten
Kondisi geografis Banten pada awal abad ke 16 dilukiskan oleh Couto [18] , yaitu Banten terletak di pertengahan teluk yang memiliki lebar sekitar 3 mil dan panjang sekitar 850 depa serta dari tepi laut memiliki panjang sekitar 400 depa. Untuk melindungi kota Banten, terdapat sebuah benteng yang dinding setebal tujuh telapak tangan laki-laki terbuat dari bata dan pada bagian pertahanannya terbuat dari kayu setinggi dua tingkat dengan dilengkapi oleh persenjataan yang baik. Pusat kota terletak pada lapangan raja (alun-alun) yang disebut paseban [19] dengan masjid dan pasar disekitarnya. Jalan-jalan dibuat secara simetris, membentuk palang silang yang sempurna [20] . Banten memiliki luas sekitar 10.000 km2, wilayah yang tidak lebih luas dari sebuah kabupaten yang besar di Perancis [21] . Wilayah Banten membentang dari Tangerang sampai Tulang Bawang dan dari Pelabuhan ratu sampai Silebar [22] dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 sampai 100.000 orang pada penghujung abad ke16.
Belanda menggambarkan bahwa Banten memiliki luas hampir sama dengan Amsterdam kuno [23] . Selain itu, Belanda menggambarkan bahwa Banten terletak pada dataran kosong di kaki perbukitan. Untuk sampai ke Banten, diperlukan jarak tempuh sekitar 25 mil antara Jawa dan Sumatra. Pada kedua sisi kota mengalir sungai, dimana salah satu dari sungai itu mengalir melewati kota.
Saat itu, Banten sudah berkembang sebagai kota pelabuhan yang ramai, dimana terdapat para pedagang Cina, Arab, Portugis, dan Inggris selain dari pedagang Belanda dan pribumi. Komunikasi antara pedagang pribumi dan pedagang asing dengan menggunakan lingua frangka. Dapat dikatakan bahwa Banten merupakan salah satu pelabuhan besar di Nusantara. Dengan ditunjang oleh potensi alam berupa beras dan komoditi unggulan rempah-rempah berupa lada, Banten sangat maju dalam hal ekonomi seperti pada kota-kota dagang pada umumnya.
Dalam hal politik, Banten dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa mampu menjaga stabilitas politik. Hubungan kerajaan Banten dengan kerajaan lain di Pulau Jawa, seperti kerajaan Mataram dan Cirebon terjalin dengan baik. Hubungan antara Banten dengan kerajaan lain di Pulau Jawa tidak sejalan dengan hubungan antara Banten dengan Belanda. Berkali-kali Sultan Ageng Tirtayasa menentang Belanda, terutama VOC. Hubungan antara Banten dengan Mataram yang pada awalnya sering mengalami ketegangan karena Mataram hendak menjadikan Banten sebagai daerah bawahannya mulai menjadi kurang baik lagi ketika Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Hal tersebut sama seperti ketika Cirebon bekerjasama dengan VOC pada 1681 [24] . Pada akhirnya hubungan baik antara Banten dan kerajaan-kerajaan lain terganggu dengan kehadiran VOC.
2.3 Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC
Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis, Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis mengambilalih Malaka pada tahun 1511 [25] .
Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai Rendez-vous [26] , yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.
Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653 sampai 1678. Menurut Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan kedudukan selama seperempat abad [27] . Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC mengalami masa keemasannya.
Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan [28] dan kegiatan perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi, VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian tahun 1645 [29] , akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
BAB III
ISI
3.1 Awal Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC Tahun 1651-1682
Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan Abdulfath Abdulfatah [30] atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa [31] setelah sebelumnya Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir [32] . Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat menentang segala bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang hendak menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC yang berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di Banten mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten.
Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala instalasi milik VOC di wilayah kekuasaan kesultanan Banten. Dengan tindakan perlawanan demikian, Sultan Ageng Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten. Tangerang dan Angke dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan Banten menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari Tangerang dan Angke.
Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari [33] . Selain itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.
Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali mengadakan hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan Mataram serta dengan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark [34] . Hal ini dilakukan agar Banten dapat memperkuat kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan Surosowan [35] .
Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu Belanda lebih banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut [36] .
Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar [37] membuat VOC pada sekitar bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata [38] . Pertempuran antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal. Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi.
Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke VOC pada tanggal 11 Mei 1658 [39] . Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC. Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).
Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut. Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659 [40] , ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara Banten dan VOC.
Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan Denmark [41] , dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda tertanggal 31 Januari 1679 [42] tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan Banten(Tjandrasasmita, 1967:35).
3.2 Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC
Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut untukmempersulit kedudukan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di bawah kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali VOC, maka posisi Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan kesultanan yang memiliki hubungan baik dengan Banten.
Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya perpecahan di dalam kesultanan Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran Gusti dan Pangeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam kesultanan. Sementara kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W. Caeff [43] yang kemudian mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya dan saudaranya sendiri.
Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dengan meninggalkan kekuasaannya untuk sementara waktu dan kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada adiknya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti yang bergelar Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dari Mekah, kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Purbaya semakin meluas sehingga membuat Sultan Haji iri. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan Haji dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah kekuatan Banten
3.3 Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC
Rasa iri dan kekhawatiran Sultan Haji akan kekuasaannya melahirkan persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan mengajukan empat syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada dikendalikan oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik pasukan Banten yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan [44] . Syarat tersebut dipenuhi oleh Sultan haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecahlah perang antara Sultan Haji dengan dibantu VOC melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di kesultanan Banten.
Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten Sloot dan W. Caeff [45] , Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten. Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7 April 1682 [46] , datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack dan De Sant Martin, dibantu oleh Jonker, tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah. Untuk menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus 52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683 [47] . Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil lolos. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai meninggal pada tahun 1692. Sultan Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu VOC, memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687. Pada tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan dimulainya monopoli VOC atas Banten. Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan Ageng Tirtayasasetelah dikhianati oleh anaknya sendiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara dengan letak yang stategis di ujung barat pulau Jawa dekat dengan selat Sunda yang merupakan titik pertemuan jalur perdagangan Asia bahkan dunia setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Hal tersebut membuat Banten selalu ramai oleh lalu lintas perdagangan. Disamping itu, Banten memiliki potensi alam yang cukup menguntungkan, dimana Banten merupakan penghasil lada terbesar di Jawa Barat. Pada rentang waktu antara 1651 sampai dengan 1682, Banten mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada beras dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan kondisi alam dan letak geografis inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker (1653-1678) berkeinginan untuk menguasai Banten, menjadikannya sebagai pusat pertemuan (Rendez-vous) sekaligus memonopoli perdagangan rempah-rempah, khususnya lada.
Untuk memenuhi kehendaknya, VOC mulai menggunakan siasat blokade ekonomi dengan tujuan agar Banten mau tunduk kepada VOC. Hal tersebut dilakukan dengan menyerang kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten. Kondisi ini membuat Banten mengalami penurunan dalam hal kegiatan perekonomian. Menaggapi hal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Pelawanan tersebut terjadi sampai dengan adanya tawaran perjanjian gencatan senjata pada tanggal 29 April 1658. Namun, perjanjian tersebut ditolak oleh Banten dan mulailah kembali perlawanan dari bulan Mei 1658 yang berlangsung terus menerus sampai diadakannya perjanjian gencatan senjata tanggal 10 Juli 1659.
Gubernur Jendral Ryklop van Goens yang menggantikan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker kemudian memerintahkan untuk menghancurkan Banten. Kekuasaan Banten mulai melemah ketika Cirebon pada tahun 1681 dan Mataram yang memiliki hubungan baik dengan Banten bekerjasama dan tunduk atas VOC. Selain itu, adanya pembagian kekuasaan di kesultanan Banten, dimana Sultan Haji dan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa, mendapat kekuasaan intern kesultanan. Hal tersebut diketahui oleh W. Caeff, wakil VOC di Banten, sehingga VOC memanfaatkan pembagian kekuasaan tersebut untuk mengadu domba Sultan Haji dengan Pangeran Arya Purbaya dan Sultan Ageng Tirtayasa, sampai pada akhirnya terjadi perang saudara yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682.
Daftar Pustaka
Boxer, C. R., Jan Kompeni Dalam Perang dan Damai 1602-1799, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
Djajadiningrat, Hoesein,Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.
Guillot, Claude,Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008.
Lubis, Nina H., Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama Jawara, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2003.
Michrob, Halwany, dkk, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang, 1993.
Notosusanto, Nugroho,Sejarah Nasional Indonesia jilid III, Balai Pustaka, Jakarta, 2010.
Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008.
Wibisono, Sonny Chr., dkk, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dwi Jaya Karya, Jakarta, 1995.
Zuhdi, Susanto, dkk, VOC di Kepulauan Indonesia: Berdagang dan Menjajah, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002
[1] Susanto Zuhdi, VOC di Kepulauan Indonesia:Berdagang dan Menjajah, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm.1
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. 2
[4] Ibid.
[5] Ibid, hlm. 3
[6] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid III, Balai Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 68
[7] Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 155
[8] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, hlm. 50
[9] Halwany Michrob, dkk, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang, 1993, hlm. 299
[10] Nugroho Notosusanto, Op-cit.
[11] Susanto Zuhdi, Op-cit, hlm. 24
[12] C. R. Boxer, Op-cit, hlm. 9
[13] Ibid.
[14] Susanto Zuhdi, Op-cit, hlm. 3
[15] Ibid, hlm. 4
[16] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, hlm. 51
[17] C.R Boxer, Op-cit, hlm. 11
[18] Sonny Chr. Wibisono, Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra:Kumpulan Makalah Diskusi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dwi Jaya Karya, Jakarta, 1995, hlm. 89
[19] Claude Guillot, Op-cit, hlm. 67.
[20] Ibid , 73
[21] Ibid, 202
[22] Ibid, 150
[23] Sonny Chr. Wibisono, Op-cit.
[24] Edi S. Ekadjati, Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra:Kumpulan Makalah Diskusi, Op-cit, hlm. 101
[25] Ibid , hlm. 97
[26] Susanto Zuhdi, Op-cit, hlm. 7
[27] C. R. Boxer, Op-cit, hlm. 48
[28] Ibid ,hlm.134
[29] Ibid , hlm. 135
[30] Halwany Michrob, dkk, Op-cit, hlm. 134.
[31] Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 199
[32] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid III, Balai Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 68
[33] Halwany Michrob, dkk, Op-cit, hlm. 135
[34] Ibid .
[35] Halwany Michrob,Ibid, hlm. 136
[36] Ibid .
[37] Ibid.
[38] Ibid, hlm. 137
[39] Ibid , hlm. 138
[40] Halwany Michrob, Ibid, hlm. 146
[41] Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah:Sultan, Ulama, Jawara, Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta, 2003, hlm. 49
[42] Halwany Michrob, Ibid, hlm. 149
[43] Nina H. Lubis, Op-cit, hlm. 52
[44] Nina H. Lubis, Ibid, hlm. 52
[45] Ibid.
[46] Ibid, hlm. 53
[47] Ibid , hlm. 54